[Menjelajahi Kisah] - Luka Lama hadir Menyeruak
Luka Lama, hadir
Menyeruak
( Sebelum membaca ini, ada baiknya teman teman terlebih dahulu membaca postingan sebelumnya. Selamatt menjelajahi kisah, mudah-mudahan mendapat hikmah )
Sekitar lima tahun lamanya, Rasyid
bin Hafsh memendam perih dan gelisah yang menganga, perihal sesuatu yang
membuatnya tak berdaya dan akan terasa sekarat selamanya jika tak diutarakan.
Pada waktu lain, ia kembali kepada
kediaman Rufaidah, tepat setelah semua pasien diobati dan dirawat. Rufaidah mempersilahkan
masuk, mengira bahwa Rasyid kembali membawa luka di sekujur tubunya. Dan benar
saja, kesekian kalinya ia mengobati luka Rasyid bin Hafsh.
“Demi kebenaran Nabi Kita, biarkan
aku menyampaikan sesuatu kepadamu, sebelum kamu memeriksakan luka ku ini.” . Ungkap
Rasyid.
Rufaidah heran, mengira-ngira apa
yang lebih penting daripada rasa sakit akibat luka ditubuhnya bersebab
peperangan. Ia kembali meminta dan mendesak untuk mengobati luka Rasyid terlebih
dahulu.
“Rufaidah, sesungguhnya perkataan ini lebih
menyakitkan bagi diriku daripada operasi bedah manapun. Izinkanlah agar aku
bisa tenang. Maka setelah itu, engkau boleh mengobatiku, itu pun jika engkau
bersedia” Rasyid mencoba diplomatis.
Memahami setiap kata dari Paman
Rasyid itu, rufaidah meresponnya dengan tawa kecil, dan terus dibuat penasaran,
sampai akhirnya memberikan izin Rasyid untuk menyampaikan maksudnya.
Barulah kemudian, Rasyid menarik
napas dalam-dalam kemudian berkata dengan sepenuh rasa. Memulainya dengan
pekataan “Terimakasih”, lalu menceritakan masa jahiliyahnya yang diisi dengan
aktivitas membunuh dan merampas harta orang lain, dengan kejam dan bengis.
Hingga setiap orang pasti akan takut dan bahkan benci kepada nya.
Namun
rufaidah menyela dengan ungkapan doa “Semoga Allah mengampuni perbuatanmu yang
lalu, wahai paman Rasyid” . Kemudian membacakan firman Allah: ”Bismillahirrahmanirrahim,
Barang siapa bertobat setelah ia melakukan kezaliman dan berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya Allah akan menerima tobatnya.”
“Benar Rufaidah, tapi yang
menyakitkan aku adalah bahwasannya Allah akan mengampuni, sementara manusia akan
ada yang tidak memaafkanku.” Rasyid menyahut.
Rufaidah menyela ketidak percayaan
diri Rasyid yang begitu nampak dan jelas, “Apakah engkau masih mempedulikan
ridha manusia jika Allah telah meridhoimu?”
Namun rasyid terus menyampaikan
beban pikirannya, bahwa saat jahiliyah, dia tidak pernah sama sekali
mempedulikan keridhaan ataupun kemarahan manusia. Akan tetapi sejak ia dalam
naungan islam, masuk ke dalam agama penuh rahmat ini, dia bersegera mengunjungi
orang-orang yang pernah disakiti dahulu. Pula berusaha mengembalikan
harta-harta yang pernah ia rampas kepada pemiliknya.
Seorang Rufaidah, terkagum-kagum
dengan tekad taubat mantan pembunuh dan perampok berdarah itu. Rufaidah
memujinya dengan ketulusan, kembali memanjatkan doa kebaikan untuk Paman
Rasyid.
Tapi sungguh, Rasyid masih diliputi
kesedihan dan putus asa, pujian dan ketulusan Rufaidah belum benar-benar
mengobati hatinya. Sampai akhirnya, rasyid mengatakan bahwa ada satu orang terakhir
yang belum ia mintai maaf dan keridhoan.
Orang itu adalah Rufaidah. Nampak
sekali raut wajah Rasyid semakin memucat. “Aku tidak tau cara meminta maaf dan
meminta keridhoan darimu, Rufaidah. Apalagi yang paling menyakitkanku, aku
tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuambil darimu.” Jelasnya sesak.
Rufaidah dengan tenangnya mencoba
memahami kegelisahan Rasyid,
“ Sesungguhnya apa yang kamu ambil
saat jahiliyah dulu dari ku, maka itu telah menjadi halal bagimu. Aku
merelakannya.” Dengan penuh kerelaan, ia menyampaikannya dengan tulus.
“Wahai Rufaidah, sesungguhnya aku tidak
percayaa atas kerelaanmu.”
“Engkau snagat membingungkanku
paman. Katakanlah hingga selesai apa yang ada dalam hatimu, jangan pedulikan
perasaanku.” Rufaidah menjawab ketidak-percayaannya Rasyid.
“Aku tidak akan mengucap, sebelum
mendapat jaminan maaf dan keridhoan darimu. Sesungguhnya aku tidak takut engkau
sakiti, tapi aku takut terhadap kebencianmu. Sesungguhnya kebencianmu lebih
mematikan dibandingkan senjata apapun dan luka seperti apapun.” Rasyid semakin
tak karuan, sedang Rufaidah terus mencoba menghibur kegelisahan rasyid yang
kian memuncak.
“Alangkah lembutnya perasaan seorang
muslim ketika iman telah merasuk ke dalam hatinya. Tenanglah, paman Rasyid.
Sungguh aku telah memafkanmu dan walaupun aku bingung dan tidak tau kesalahan
apa yang kamu lakukan padaku.”
Rasyid terdiam beberapasa saat,
keadaan menjadi hening. Setelah beberapa menit, rasyid berkata lirih, yang
kemudian berubah menjadi godam dan memekkakan bagi telinga Rufaidah.
“Wahai Rufaidah… Aku.. Aku, adalah
pembunuh suamimu.”
Rufaidah terkejut, dan berteriar
keras, suaranya terdengar melengking bercampur kepedihan. Rasyid bersimpuh
terus meminta maaf dan keridhoan kepada sang istri dari seseorang yang pernah
ia bunuh. Rufaidah menutup wajahnya, menahan tangis bernuansa kepedihan dan
keperihan. Tubuhnya gemetar, menggigil seperti terkena demam. Lalu meledaklah
amarah lamanya.
“Engkau telah membunuh seorang
muslim yang mentauhidkan Allah, hai Zhalim!”
amarahnya semakin memuncak.
Sedang rasyid semakin menunduk,
wajahnya begitu lusuh dan sakit. Namun iya mencoba membela diri, meminta minta
keridhoan Rufaidah.
“Ketika itu aku seorang kafir,
Rufaidah.”
“Abdullah adalah orang yang selalu
menyeru kebenaran dan seornag muslim yang tak pernah menyakiti seorangpun”. Rufaidah
terus larut dalam tangisnya, perkataannya bercampur sengit dan pedih. Jiwanya terkoyak-koyak,
terasa akan runtuh pertahanan dirinya selama ini , yang mencoba untuk tidak membayangkan
kematian suaminya yang dibuat begitu bengis dan keji.
“Sungguh engkau telah menghancurkan
hidupku, Paman.” Rufaidah terasa terseret pusaran waktu, terekam begitu
menderitanya Abdullah sesaat menuju kematiannya.
“Bunuhlah aku, Rufaidah. Jangan kau
siksa aku dengan kepahitan serta kebencianmu ini.”
“Akankah aku membunhmu? Setelah aku
berada dalam islam, dan engkau pun telah masuk islam?” Katanya terisak.
“jika engkau tidak mampu membalas
dendam, maka apakan engkau mampu mengampuniku?” rasyid merintih.
Namun Rufaidah terus menanyakan
kesalahan Rasyid yang telah membunuh Abdullah, orang yang tak pernah
menyakitinya bahkan menyakiti siapapun. Dan Rasyid kembali membela diri akan
kesalahannya yang dilakukan saat kafir dahulu. Rufaidah terus menangis
tersedu-sedu.
“Sungguh, aku telah berusaha mengobati
luka itu dan hampir sembuh.”
“Saat kematian itu datang, aku
berusaha tegar untuk tidak menangis, karena aku yakin bisa membalas dendam
untuk Abdullah. Tetapi ketika tiba saat balas dendam, tiba tiba pula aku
menjadi orang lemah tanpa daya dan kekuatan apapun.” Rufaidah masih belum
tenang, dirinya hampir terhuyung karena beban jiwanya yang teramat berat.
Tanpa bisa terbendung lagi, rasyid
menangis mendengar perkataan Rufaidah. Dia menangis, sebab telah mengetahui
harapan Rufaidah kepada pembunuh suaminya.
“Ampunilah Aku, wahai Rufaidah.
Sesungguhnya pemberian maaf adalah sebuah kekuatan bukan kelemahan.” Begitu terdengar
tulus permohonan maaf dari Rasyid bin hafs.
Akhirnya, dengan nada pasrah
Rufaidah berkata “Sesungguhnya Allah telah mengampunimu, dan aku pun telah
mengampunimu pula, Paman rasyid.”
Mendengarnya, terasa bahagia Rasyid.
Hatinya bak disiram air yang sejuk, kemudian terasa lapang. “Selama kau
memanggilku dengan namaku yang islam, maka itu tanda kerelaanmu pada
kesalahanku”.
Rufaidah hanya terdiam, tidak
menjawab.
“Sekarang engkau boleh melanjutkan
pembedahan luka ku ataupun menolaknya, itu adalah hakmu.” Kata Rasyid memecah
kesunyian.
“Wahai Rasyid bin Hafsh, bagaimana
aku bisa berfikir akan menolak mengobatimu? Sedangkan dulu pada perang Badar
pun, aku bahkan memeriksa luka seorang musuh dari kaum Musyrik. Sedang engkau
adalah orang muslim.” Rufaidah mencoba menjawab mantap.
“ Tetapi, Paman. Saat ini tanganku
masih gemetar. Tinggalkanlah aku sebentar, sementara aku akan shalat dua
rakaat, agar jiwaku tenang. Setelah itu, aku akan mengobatimu.” Lanjutnya.
Dengan langkah tenang, Rasyid pun
keluar dari ruangan. Sedang Rufaidah, sendirian meneruskan kesedihannya
sebentar, lalu ia berdoa dengan khusyuk.
Sesungguhnya luka hati yang sudah
hampir sembuh, kini terkuak kembali. Berilah kesabaran atas cobaan yang
diderita, kuatkan hati menghadapi bahaya. Luruskanlah langkah menuju taat,
Berilah ridhaMu dengan akhir yang baik.
Dengan hidayahMu , sesungguhnya
keikhlasan akan datang.
Maa syaAllah wa tabarakallah..
BalasHapusEmang lagi butuh2nya sosok wanita islam yg layak dijadikan contoh dan pelajaran. Karena toh sekarang dunia maya sedang di hebohi oleh wanita kuat asal korea yg di selingkuhi oleh suaminya.. Itu gening film yg viral..
Hhuhuhu,,
Jazakilkah vi sudah menyuguhi sejarah perempuan yang luar biasa kuatnya .. Big love .. Eehhehe