[CERPEN] - Episode Palawa Hikmah ( Cerita Masa Pandemi)
EPISODE PALAWA HIKMAH
(Menguji Kemanusian Manusia)
Oleh : Rivia Nafilah Fa
“Dan Kembalilah kamu kepada Tuhanmu,
dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu
tidak dapat ditolong lagi.”
(Qs Az-Zumar :54).
........
Saat semuanya perlahan mulai mengerumuni kebahagian, orang
disekitarku mulai berlalu dari jalannya, pergi ke kampung halaman untuk mencurahkan
segala kekhawatirannya karena pernah diam di zona merah. Dengan berat hati,
segala rencana akademik, organisasi, dan project lainnya ditunda entah sampai
kapan waktunya.
Sehingga, minggu ini -setelah tersebar surat edaran dari rektor
perihal ditiadakannya kuliah tatap muka dan diganti dengan kuliah Online
sebagai ikhtiar menempas penyebaran Covid-19-, aku melihat dengan jelas bagaimana
situasi jalanan dikampus, sepi. Orang mulai menjaga jarak, dan berniat Pulang.
Minggu ini, setelah bercengkrama pemikiran bersama
kawan-kawan satu organisasi, kemudian mengelana dalam program kelas politik
yang diadakan organisasi lain di kota, hingga diakhiri dengan berita surat
dari rektor Universitas. Aku menelepon
mamah berbicara perihal niat hati ingin pulang ke kampung halaman.
……
-1 minggu sebelum keluar surat edaran
dari rektor.-
Per 2 Maret 2020, presiden RI Joko Widodo mengumumkan bahwa
dua orang positif terjangkit virus corona di Depok, Jawa Barat dan kemudian
dibawa ke rumah sakit di Jakarta Utara.
Dari sinilah, menjadi awal mula masuknya virus corona ke Indonesia.
“Hmm, gk
habis pikir gue. Saat pihak pemerintah mengumumkan virus ini mulai menyebar di
Indonesia, masyarakat jadi khawatir dan panik . Bahkan di daerah kita niih ya,
, harga barang-barang tertentu mulai melonjak dan ada yg sudah susah untuk
ditemukan.” Jelas Miftah, mahasiswa satu jurusan dari Jakarta. Yang selalu memberikan
pengertian untuk tenang menghadapi semua ini, tapi selalu saja menyampaikan
hal-hal yang membuat kita –aku pribadi- jadi khawatir dan ketakutan.
Humm Miftah..
“ Kamu
kata siapa? Daerah kita kan gak kena wabah itu. Mudah-mudahan aja , Insyaallah
aman. Isu mahasiswa di daerah ini yang suspect covid-19 pun sepertinya hoax,
ya gak rif?” Timpal Kyla. Sahabatku semenjak masuk perkuliahan ini.
Aku hanya
terdiam, mencoba kembali mendengarkan apa yng dibicarakan kawan-kawanku ini
disela-sela mata kuliah yang kosong.
“Hmm, lo
berdua belum memperbaharui informasi akuratnya ya. Berita pertama, di puskesmas deket kampus ada yg suspect dan
salah satunya adalah mahasiswa kampus kita, berita keduanya sudah ada
konfirmasi kebenaran dari pihak puskemasnya. Berarti, yang menjadi pemikiran
terburuknya, wilayah kita juga udah kena virus itu. Secara kita semua paham,
virus corona menyebar dengan begitu massif.” Miftah memang lebih paham dan selalu
yang paling pertama tau berita pastinya, apalagi mengenai permasalahan negaranya
.
Bahkan isu-isu sebelum covid-19 ini, yaitu perihal kebijakan omnibus law, ia
benar-benar memahami alurnya dan berani untuk meneriakkan keadilan masyarakat
yang telah dijamah haknya. Kalau permasalahan dikampus gimana? Jangan ditanya,
dia sang demonstran sejati di kampus kita.
…….
Sarayu dan Shyam mengelana dalam keheningan malam, beradu
dengan pilu dan bimbang antara harus bertahan atau pergi berlalu. Semenjak
banyaknya berita pekerjaan, perkuliahan, sekolah dan lainnya yang diganti
menjadi sistem online atau WFH (Work From Home), sekaligus himbauan dari
rektor untuk mahasiswanya segera pulang
ke daerahnya masing-masing. Maka banyak pula lah poster poster berisikan
perintah untuk jangan pulang. Dalih ini semakin kuat saat ada relevansinya dengan
kisah pada masa Nabi. Broadcast yang berisi hadis nabi tersebar di
berbagai sosial media, bahkan ada yg secara khusus mengirimkan kepada nomor
whatsaapku. Narasi dan broadcast tersebut berisikan beberapa hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
“Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka,
jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah
kalian keluar darinya.” Aku memahaminya dengan seksama. Dan memang benar
adanya.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, pernah tersebar wabah, khususnya
di daerah Madinah. Kemudian Nabi memperingatkan umatnya untuk tidak berada
dekat-dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Dan melarang orang yang
berada didaerah wabah untuk keluar dari wilayahnya.
Aku mencoba berbincang kepada mamah, meminta kebijaksanaannya
antara aku pulang atau diam dengan beberapa temanku disini, -di tempat yang
kedepannya –atas izin allah- menjadi wilayah zona merah-;.
“Mah, aku mau pulang besok. Tapi aku agak khawatir, sejak pagi sampai sore tadi aku
baru pulang dari kota. Ada kegiatan disana, aku naik turun angkot umum. Dan
posisiku cuma pake masker kain . Kalau
misalnya aku pulang, dan gak taunya bawa virus itu ditubuh aku gimana? Disitu
kan masih aman.” Kataku khawatir, menahan tangis kalau-kalau mamah
menyetujui aku diam saja di sini dan tidak pulang.
“Kan zaman rasul juga, baiknya orang yang dalam wilayah
terkena wabah jangan keluar masuk. Harus diam ditempat mah. Humm.” Lanjutku
dengan suara parau.
“Nanti ketika kamu udh sampe rumah, jangan dulu masuk.
Berjemur dulu, dan mamah sudah siapkan disinfektan untuk menyemprotmu.”
Diseberang bumi Allah, mamah malah menertawaiku.
“Lha mamah, disinfektan kan cairan pembersih mah. Aku baca
lo mah di internet, katanya WHO juga gak merekomendasikan penyemprotan
disinfektan ke tubuh manusia, soalnya isi larutannya alkohol plus klorin mah,
bahaya bagi kesehatan manusia. Becanda selalu ni mamah mah. Aku panik disini.”
Aku mengoceh atas candaan mamah.
“Rifdah dengarkan mamah ya. Logika nya, pihak kampus
meminta untuk mahasiswanya segera pulang karena daerahmu sendiri belum
dinyatakan sebaagai zona merah. Bisa jadi, Allah beri kesempatan untuk hambanya
pulang. Lahaula Bismillah, besok pagi langsung pulang. Usahakan jangan pake
andalas karena peluang interaksi akan massif. Pake budiman ya, InsyaAllah cukup
meminimalisir. Pake masker, sebelumnya makan terlebih dahulu, makan spririluna
dan minum dulu kopi HPAI. Nanti sebagai penjagaan juga, mamah sudah siapkan antiseptic/
hand sanitizer saat kamu datang, dan jangan dulu masuk ke rumah sebelum
berjemur di terik matahari “ Mamah menjelaskan dengan sedikit senyuman yang
tertahan.
“Aku gak setuju sama mereka yang melarang keras mahasiswa
untuk pulang, padahal daerah kita belum berstatus zona merah, bahkan belum ada
berita yang positif covid-19 secara jelas. Aku rasa larangan keras itu, membuat
mental anak rantau terganggu. Jika saja mahasiswa rantau ini bertahan di
kos-annya, tidak akan mudah untuk bertahan hidup dengan baik saat bahan baku
yang sulit atau terjadi harga yang melonjak naik, belum lagi timbul ketakutan
keluar kost. “ Jelas Kyla,tiga jam yang lalu saat dia mempertimbangkan
kepulangannya ke kota dodol.
Diseberang pemikiran lain pula mengatakan, “ Kalau kamu
menyayangi orangtua mu, jangan pulang.”
……
Sarayu kali ini begitu merdu menyentuh lamunanku, kebijakan
social distancing mulai diterapkan kepada masyarakat, namun tetap saja orang
banyak berlalu lalang dijalanan, mengadakan perkumpulan dan bahkan
beramai-ramai liburan wisata alam. Rasa memanusiakan manusia hampir tergerus
saat wabah corona ini semakin menerus. Perilaku Panic buying mulai melanda
kemanusiaan manusia. Sebagian mereka menimbun barang-barang kebutuhan dalam
jumlah yang banyak sebagai respon terjadinya fenomena ini. Persedian masker dan
hand sanitizer akhirnya langka dipasaran, kalaupun ada harganya tidaklah
berprikemanusian, melonjak dengan harga yang tidak tanggung-tanggung. Persis, sesuai
dengan apa yang dikatakan miftah saat dikampus.
Sesungguhnya Social Distancing haruslah diikuti dengan social
solidarity kan.
“Mereka
hanya takut, Rifdah.” Jelas kyla lewat gawai
“Tindakan
mereka yang lebih menakutkan dan mengkhawatirkan.. Social distancing
tanpa social solidarity jelas beresiko besar, Kyl” Aku menghela nafas
panjang, mencoba memahami sebenarnya yang terjadi.
“Tidak
ada sama sekali yang menginginkan kejadian ini. Ini diluar kendali kita semua.
Segera membaik Bumiku. “ bisikku pada hati.
Percakapan itu terjadi di wa,
berbincang-bincang perihal respon sebagian masyarakat yang diluar batas wajar.
Dalam situasi yang tak mudah ini, tidaklah baik berbelanja dalam jumlah yang
banyak hanya untuk kepentingan pribadi. Semuanya hanya memperburuk keadaan.
Asatidzku pernah bilang sambil mengutip hadist nabi riwayat Muslim no 1605,” Rasulullah
bersabda: Tidaklah seorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa”.
Nudzubillahimindzalik.
Belum sampai disitu, beragam
informasi yang meresahkan bertebaran di media sosial. Membuka medsos apapun,
berita terkini yang terekam adalah perihal penyebaran covid-19 yang makin
massif, dan jumlah korban meninggal yang semakin naik. Lebih menyakitkan, semua
itu diikuti dengan banyaknya berita hoax dan kalimat-kalimat yang menyebabkan
kepanikan publik. Aku rasa, aku pun adalah korbannya.
Minggu pertama di kampung halaman, kesehatanku cukup
terganggu. Hal ini membuatku was-was dan khawatir saat bertemu dan berhadapan
dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang serumah pun.
“Mah, aku
batuk.”
Saat batuk
berhenti ,“Mah, sekarang aku sakit tenggorokan”. Pemberitahuan ini
sesungguhnya adalah pemberitahuan kekhawatiranku takut terkena gejala covid-19.
“Sekarang
memang lagi musim. Kamu terlalu banyak baca berita negatif tentang covid-19
ini. Itu pun ngaruh ke pola pikiranmu dan berimbas pada kesehatanmu. Sok segera
makan obat, da gak batuk gimana, makanan yang dimakan ya pedas semua.” Omel
mamah geram padaku.
Hari ke 10 aku mengeluh dengan keluhan baru, “Mamah,
sekarang aku pusing. Jalanpun, pusing banget, terus sesak gitu mah. Padahal
tugas kuliah numpuk banget.” Kataku yang tetap merasa khawatir terkena
covid-19.
“Aku
beberapa kali baca berita mah, dan kayaknya apa yang aku alami hampir sama dengan
gejala awal covid-19 mah, ” Lanjutku lebih memperlihatkan kepanikan.
“Jangan
terlalu banyak membaca berita perihal itu jika belum bisa memahami kebenaran
dan hikmahnya, rifdah. Berita yang kamu baca, malah membuatmu panic dan takut,
apalagi sampai gak mau ikhtiar sama sekali karena merasa pasrah. Ingat lho,
saat ini orang-orang sekaringkali saling meneror dan menakut-nakuti menggunakan
media sosial. Dan akhirnya timbullah panic global, kamu salah satu korbannya.”
Mamah menatapku sebentar kemudian melanjutkan pekerjaannya.
“ada
wejangan yang perlu kamu resapi dari para ahli jiwa, rifdah.” Ujar mamah.
“Jangan
terlalu sering mencari berita tentang virus corona apalagi mencari informasi
tambahan di internet, itu akan melemahkan mentalmu, dan terbukti sekarang
sikapmu panic tidak karuan. Karena berita berita tersebut, bagi sebagian orang
akan merangsang penyakit, misalnya depresi. Lebih baik sekarang kamu atur pola
makan, hibur pikiran dan hati kamu dengan hal-hal yang lebih menggunggah jiwa,
sering dengarkan murottal. Sedangkan untuk penjagaan teknis, disiplinkan
mencuci tangan secara teratur.” Jelas mamah, bak sedang mengisi seminar
kesehatan cegah coronavirus.
“Virus
itu berkaitan dengan imun, sedangkan suasana hati yang positiflah yang membantu
melindungi sistem kekebalan tubuh manusia. Bersikaplah positif, mamah paham
dengan gerak gerik mu yang mendahulukan panic sebelum ikhtiar. Paham , rifdah?” Mamah menatap aku cukup lama,
Aku mengganguk pelan, berusaha menyadari diriku yang terlalu
tenggelam dalam perangkap media sosial. Terlalu cemas berlebihan hingga
merasakan bahwa diriku sendiri mengalami gejala terinfeksi virus corona.
Jika semakin
memburuk, namanya Psikosomatis, dalam istilah psikologi. Psikosomatis adalah
gejala fisik yang diakibatkan karena mental dan akan mudah menular secara
emosional. Naudzubillah..
…..
Menurut WHO, masa inkubasi virus corona ini adalah 2 hingga
14 hari, walaupun ada beberapa studi lain yang menyebutkan periode inkubasi
penyakit bisa lebih lama dari itu, yaitu hingga 24 hari. Dan gejala sering kali
muncul dihari ke 5. Maka inilah yag menjadi salah satu alasan kebijakan
karantina dirumah aja di gembor-gemborkan.
Hari-hari menuju hari ke -14 ku dirumah dipenuhi rasa
kekhawatiran. Karena gejala virus corona hampir sama dengan penyakit influenza
dan penyakit-penyakit musiman yang sering menghinggapi manusia, membuatku
was-was tak karuan. Sekian hari aku mengalami batuk, sekian harinya diganti
dengan pusing, sekian harinya lemas tidak karuan padahal tidak beraktivitas
sama sekali. Sampai akhirnya aku melewati hari ke-14, aku tak lagi apa-apa.
Gejala gejala itu hadir karena pikiranku yang mengundangnya. Benar kata mamah.
……
Keadaan psikologiku mulai berdamai – tidak lagi sekhawatir
14 hari yang lalu yang terburu-buru melakukan self diagnose-, begitupun kebijakan
praktik social distancing mulai disadari para umat. Orang mulai paham perlunya
menjaga jarak. Orang mulai paham perlunya dirumah aja. Orang juga mulai paham
untuk tidak menyebarkan hal-hal yang membuat kepanikan secara global lewat
media sosial. Orang juga mulai paham untuk saling bahu membahu sebagai wujud
kemanusian. Karena sesungguhnya yang paling mematikan bukanlah virus, melainkan
kemanusian manusia yang hilang.
Keberhasilan atas kesadaran seluruh masyarakat ini hadir,
salah satunya adalah karena imbas dari banyaknya para tenaga medis yang
meninggal, tercatat hingga kini 24 dokter kembali kepada Tuhan setelah melaksanakan
tugas besar layaknya tugas para pahlawan.
Namun
semuanya belum selesai, Allah beri ujian melalui manusia lain yang dzalim.
Belakangan ini, dalam perjuangan melewati pandemi ini, banyak bermunculan
sederet stigmatisasi antara satu sama lain. Mulai dari pengucilan secara tak
wajar kepada mereka yang positif covid-19 atau bahkan yang berstatus ODP atau
PDP, pengusiran terhadap tenaga medis, hingga penolakan proses pemakaman pasien
covid-19.
“Upaya
menjaga jarak ini janganlah kebablasan. Jaga jarak bukan berarti kita harus
mengusir orang atau menolak jenazah.” Mba nana bersuara melalui
instagramnya, mencoba membentuk pola pikir masyarakat negeri kita yang diluar
batas wajar.
“That
Right, aku sepakat. Terkena covid-19 bukanlah aib, tidak perlu ditindaklanjuti
dengan pengucilan, pengusiran, bahkan penolakan yang tak berprikemanusian.“
gumamku.
…...
Hari ke -17 aku tinggal di rumah, qadarullah salah satu tetanggaku dinyatakan berstatus ODP,
orang dalam pantauan karena pernah ke wilayah zona merah atau berinteraksi dengan
orang yang terkena corona, Atau aku pahami ini sebagai niat Allah supaya beliau
berjeda sementara istirahat dari pekerjaan atau rutinitas beratnya diluar.
“Mah, menurut perkiraan pemerintah, pandemi
ini akan masih terus berlanjut cukup lama. Bahkan kemarin sudah ada surat
edaran dari kemenag perihal panduan Ramadhan dan idul Fitri di masa penyebaran
corona virus ini. Disitu tertulis,selama Ramadhan, semua kegiatan kajian, iftar
jama’I, tarawih berjamaah dimesjid, dan bahkan I’tikaf di tiadakan. Allah
bener-bener sedang mencabut nikmat beribadah mah. Gimana sebaiknya kita sebagai
umat muslim?”
“Rifdah,
bapa mau nanya.” Tiba tiba bapa datang, menghampiriku dan mamah.
“Kamu tau
pesan dari Imam al-qurtubi tentang hal apa saja yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan sebuah negeri dari bencana..?” Tanya bapak.
Aku
menggeleng.
“Pertama,
adalah pemimpin yang adil dan tak zalim. Kemudian orang yg berilmu yg benar
dalam mengamalkan ilmunya, para ilmuwan dan ulama yang menyeru pada yang ma’ruf
dan melarang pada yang munkar serta mengajak untuk mencari ilmu dan mencintai
al-quran. Dan terkahir wanita yang menjaga pakaiannya dan menjaga
kehormatannya. Merekalah kuncinya. (Sumber Gen salahudidin mengutip dari
Kitab Al-Jami Li Ahkamil Quran).”
jelas bapak.
“Aku paham,
sebagai umat islam, kita memaknai ini sebagai ujian untuk kita atau mungkin
azab ya kan pa. Dan hal ini terjadi, karena kuncinya banyak yang dilanggar.“
Kataku parau.
“Bapak
relevansikan pesan imam al-qurtubi itu dengan kisah wabah penyakit yang pernah
menyerang Abbasyiah. Kisah ini diriwayatkan oleh ibnu katsir.
Peristiwa
itu hampir sama dengan apa yang terjadi masa kini. Tepat pada tahun 478
Hijriah, pada masa kekhalifahan Abbasyiah. Negeri muslim dilanda demam dan
wabah lainnya, bahkan menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Tidak hanya
manusia, hewan-hewan liar maupun ternak mati secara bersamaan. Bahkan ditengah
menyebarnya wabah mematikan itu, merebak juga pengikut syiah yang banyak
melakukan anarkis sehingga menambah jumlah manusia yang terbunuh.
Saat itu, Al
Muqtadi billah selaku khalifahnya mengeluarkan perintah kepada seluruh umat
islam setelah mengadakan ikhtiar pengobatan dan evakuasi, agar juga menegakkan
ma’ruf dan sama-sama memerangi kemungkaran disetiap desa hingga kota, bahkan
dilakukan tindakan menghancurkan tempat-tempat maksiat, membuang khamr, dan
lainnya.
Lalu apa
yang terjadi? Atas izin Allah, setelah hal itu dilakukan oleh segenap rakyat,
wabah sakit dan musibah lainnya mulai meredam. ( Sumber Gen Saladin dikutip dari Kitab Al-bidaya wa
An-Nihayah).” Jelas bapa panjang lebar.
“Tapi
bagaimana bisa kita berbuat maruf dan melarang kemunkaran, sedangkan untuk
melaksanakan sholat di masjid saja ada larangan, bahkan lebih keras dari
larangan untuk melakukan perjalanan. Aku liat dibeberapa akun,mereka
beranggapan bahwa dengan adanya kebijakan untuk meniadakan shalat jamaah
dimesjid, kajian dan semacamnya, berarti kita telah termakan propaganda oknum
tertentu, sehingga yang terjadi Allah telah semakin menjauh dari kita. Padahal
yang perlu kita lakukan ditengah-tengah pandemic ini, adalah mendekatkan diri
ke Allah kan pa.” Komentarku heran.
“ Kalau kata
soekarno, mari Jas Merah. Kita kembali kepada sejarah dan ambil hikmah dengan
baik-baik. Telah banyak ulama ulama yang menulis buku-buku tentang treatment
menghadapi bencana.” Kata bapak tegas.
“Salah
satunya Dr Ali Muhammad Audah, beliau telah menghimpun 24 kitab sepanjang zaman
yang mengisahkan bagaimana umat mengalami bencana wabah penyakit dan bagaimana menanggulanginya. Beliau mengutip tulisan dari Imam Ibnu Hajar
Al-Asqolani. Sekitar tahun 1348 Masehi, terjadi wabah penyakit menyerang kota
damaskus. Banyak ulama memberi arahan agar manusia tidak berkumpul dan agar
menjauhi keramaian. Seperti apa yang diterapkan saat ini, social distancing
hingga karantina, bahkan nabi juga mengharuskan lockdown dalam haditsnya.
Dan respon
masyarakat pada masa itu, hampir sama dengan respon masyarakat pada masa kini.
Persis sekali. Mereka menghiraukannya, dengan dalih sebagai ikhtiar mendekatkan
diri kepada Allah, mereka berbondong-bondong keluar menuju lapangan, kemudian
bersama sama berdoa meminta pertolongan kepada Allah. Tapi apa yang terjadi?
Kamu pun bisa menebaknya bukan.” Bapak menjelaskannya runtun.
“Wabah itu semakin
menyebar, padahal sebelum mereka berkumpul, korban hanya sedikit.” Gumamku
menebak, terpesona dengan penjelesan sejarah dari orang luar biasa ini.
“(Bapa
menggangguk), Maka perlulah kita menghadapi bencana wabah ini dengan ilmu,
rifdah. Tidak semata-mata pasrah terhadap ketentuannya. Tidak pula bergantung
sepenuhnya pada alat-alat pencegah dan penyembuh buatan manusia. Antara ikhtiar
langit dan ikhtiar bumi haruslah seimbang. Arahan ulama dan arahan medis
harusnya kita patuhi, sami’na wa atha’na.” Tegas bapak.
“Kita memang
tak perlu takut pada corona, dia hanyalah segelintir makhluk Allah. Kita hanya
patut takut kepada Allah, dengan cara melaksanakan sunatullah yang perlu
diikhtiarkan.” Bapak menepuk pundakku, sedangkan aku diam, kembali memahami dan
mentafakuri rentetan hikmah yang tersirat juga tersurat dimasa pandemi ini.
“Sesungguhnya
Allah sedang beri nikmat lain untuk umatnya saat nikmat beribadah bersama di
masjid allah cabut sementara. Mari, ikhtiarkan waktu dirumah aja dengan
mendekatkan diri pada yang Kuasa. Karena hebatnya Islam, dalam kondisi apapun
hambanya beribadah dan berdoa –dalam sakit atau sehat-, Kesempatan beribadah
dan diijabah doa oleh Allah tetap terbuka lebar.
“Ini adalah Episode Palawa Hikmah,
Bersyukurlah kita. Terimakasih Allah.” lirih kita.
……
Musibah itu meruntuhkan keangkuhan,
bukan menambah keakuan. Dan wabah itu mendekatkan pada Tuhan, bukan menjauhkan.
-KH Ubaidillah Shodaqoh.
Note Diksi:
Palawa is Bersemi.
Sarayu is Hembusan Angin.
Shyam is Kegelapan malam.
Komentar
Posting Komentar