[ARTIKEL] - M A R I B E R P I K I R
Selamat
bertemu kembali, sahabat. Pada Ramadhan ke -6 ini, semesta semakin memberikan
bahagia, meminta seluruh manusia berkelana dalam segala aktivitas yang menuai
hikmah dan berkah dari Yang Kuasa. Mari berbahagia juga, menjelajahi hari-hari
luar biasa ini. Dan mari terus lebih mengenal diri, karena dengan benar-benar
mengetahui diri sendiri, gerbang untuk mengetahui Allah akan terbuka. Allahu
‘Alam.
Kegitan SSC 25 Salman ITB "Berfikir Konsep Project Kebaikan"
Atau
jika diantara sahabat pernah membaca salah satu buku karya Muhammad Natsir,
yang berjudul Capita Selecta, ada satu pertanyaan dari Muhammad Natsir , “Berterbaran
di dalam Al-quran pertanyaan-pertanyaan yang memikat perhatian, menyuruh orang
mempergunakan pikiran dan mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya dengan
sebaik mungkin, seperti pertanyaan kenapa mereka tidak berpikir, kenapa mereka
tidak tahu, kenapa mereka tidak mempergunakan akal, dan seterunya.
Buya
Hamka juga mengatakan dalam bukunya, “Agama Islam sangat menghargai akal.
Karena tidak akan membutuhkan ilmu jika tidak ada akal. Sebab itu Islam adalah
agama ilmu dan akal.”
Sebenarnya
sebelum pernyataan pernyataan diatas kutulis, sahabat semua sepakat bahwa
berpikir adalah perkara penting. Namun mari maknai kembali tujuan penting yang
kita semua sepakati adalah seperti apa? Apakah itu berfikir untuk mendapatkan
masa depan yang lebih baik, untuk mendapatkan pandangan hebat dari orang lain,
atau untuk mendapatkan penghargaan dari seseorang, atau misalkan sekadar
berfikir sebagai pemuas kebingungan saja atau formalitas semata. Mari memohon
ampun sehingga kita semua dijauhkan dari kepentingan kepentingan dunia yang
tiada pernah lelah mengiming-imingi manusia.
Hanya
sebagai pengingat atas kelupaan, kekhilafan dan kekeliruan insan bernama
manusia. Bahwasannya, sungguh pola berfikir dalam makna Islam begitulah
mempesona serta sangat luar biasa. Syeikh Ibnu Athaillah mengatakan bahwa
berpikir merupakan jalannya perasaan yang dikirimkan melalui otak manusia untuk
dilaksanakan oleh anggota badan dan panca indera. Dan Hamba Allah yang suka
berpikir, sesungguhnya akan menghidupkan ruhaninya, menyegarkan otaknya, serta
menyegarkan pelaksanaan ibadahnya. Dengan demikian, proses berfikir adalah
proses terintegrasinya antara Akal, hati, dan anggota tubuh.
Islam
akan menyelamatkan akal kita dalam berfikir. Oleh karena itu, dengan hanya
mengamalkan ajara islam, akal dapat diserahkan sepenuhnya yang kemudian membawa
manusia kepada kebaikan. Dan tiada lain tujuan berpikir, adalah untuk
bertaqarrub kepada Allah SWT.
Melalui
penuturan ayat-ayat Al-quran, bisa kita semua dapati, berpikir mampu
menyampaikan manusia pada pemahaman dan penggambaran sesuatu, mendorong moral
atau akhlaq manusia, mendorong sang pemikir untuk mengambil pelajaran dan
kesimpulan serta menuai beragam hikmah. Maka begitulah kiranya hakikat berfikir
dalam Islam. Jadi kalau begitu, sudahkah kita berpikir?
Kemudian,
menjadi pengingat kembali pula untuk kita semua, khususnya diri pribadi. Bahwa
dalam berpikir, tiada boleh manusia melebihi batas. Layaknya Imam Syafi’I
berkata, sesungguhnya akal itu memiliki batas, sebagaimana pandangan manusia
juga memiliki batas.” Rasulullah juga
pernah bersabda, “Befikirlah tentang makhluk Allah, jangan memikirkan
Penciptanya. Sebab untuk itu kamu tidak akan mampu memperhitungkannya.”
Mari
kembali jelajahi hakikat berfikir dalam kacamata Islam. Tidaklah kitacboleh
berhenti atau abai dalam berpikir, karena ia merupakan kewajiban yang tidak
boleh dihilangkan dalam konsidi bagaimanapun. Dan proses berfikirlah (tafkir)
yang menjadikan akal manusia memiliki nilai, sekaligus menghasilkan berbagai
produk akal yang mampu membuat manusia lebih baik dan lebih dekat dengan Allah,
bukan yang menjadikan manusia berfikir untuk mengikuti hawa nafsu, yang lebih
mahir bercerita dan mendebat kebijakan kebijakan dari Allah SWT.
Ibnu
Mas’ud pernah memberikan nasihat, “Bukanlah ilmu itu kemahiran bercerita,
tetapi ilmu itu menimbulkan takwa kepada Tuhan”
Akhirnya,
sebagai penutup tulisan ini, aku teringat salah satu pembahasan perkuliahan pada
mata kuliah Filsafat Ilmu, Pak Yaya menyuruh para mahasiswanya untuk memaknai
Q.S Al-Hajj ayat 46. Aku coba tuliskan
terjemahannya, atau sahabat semua bisa membuka Al-Qurannya dan mari maknai
bersama:
“Maka Apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada.”
Pak Yaya
bilang, bahwa alat berpikir tidaklah akal semata, melainkan ada alat berpikir
lain yang ada dalam jiwa manusia, kapasitas memorinya luar biasa, serta
kekuatan dan kecerdasannya melampui nalar. Alat berfikir itu adalah HATI.
Benarlah adanya, bahwa hati adalah raja dalam jiwa, setiap aktivitas berpikir
manusia tiada lain akan berujung dan bermuara ke dalam hatinya.
Sampai
akhirnya ketika orang ditanyakan letak keyakinan, maka banyak orang akan
menujuk hatinya, dan tidak ada yang menunjuk kepalanya. Dan kiranya inilah yang
menjadi problematika pada pola berfikir manusia dewasa ini, yang mengabaikan
serta mengesampingkan hati dalam urusan berfikir atau mencari kebenaran. Hingga
akhirnya berfikirnya keluar dari koridor yang ditentukan.
Lalu
bagaimana cara hati berpikir dan akhirnya melahirkan sebuah keputusan? Mari
sama sama berpikir…. Atau kita selami kembali kisah Nabi Sulaiman yang
berhadapan dengan dua orang wanita yang berebut seorang bayi yang diakui anak
kandung kedua wanita tersebut.
Sudahkan memaknai kisahnya?
Begitulah sedikitnya gambaran cara
hati berpikir.
Mari berikhtiar sucikan proses berpikir kita, tanpa melebihi batas koridor dan tanpa mengesampingkan hati sebagai alat berfikir. Allahu ‘Alam.
*Aku mengambil beberapa kutipan dari
buku Mutu Manikan Kitab Al-Hikam, karya Syeikh
Ibnu Athaillah as-Sakandari, buku Nasehat 125 Ulama Besar karya Mahyudin
Ibrohim, buku M.Natsir, dan Wejangan dosenku Drs Yaya Suryana, M.Ag, pengampu
mata kuliah Filsafat Ilmu.
Komentar
Posting Komentar