Kontemplasi #3 : Berjuang yang Senada
Berjuang Yang Senada
Oleh: Rivia Nafilah Fauziah
“Dalam rentetan
episode yang dihadirkan Allah untuk hambaNya, sungguh segalanya menuai hikmah sekalipun
nampak menyakitkan”
....
Setelah satu minggu berita diterimanya Abil Haq di PTKIN kota kembang keluar, ada tawaran kepadanya untuk mencoba mengikuti pendaftaran beasiswa untuk penghafal Quran.Tiada sungguh Allah memberatkan hambaNya untuk terus mencari ilmu. Akhirnya Abil berkelana pada proses pendaftaran itu, mengisi berbagai persyaratan administrasi yang cukup rumit untuk dikirimkan secara online. Segalanya ia lakoni, sebaga ikhtiar mengharapkan beasiswa ini adalah rezeki yang Allah berikan untuknya, untuk bekal dia menuntut ilmu di perantauan.
Abil Haq, telah menjadi mahasiswa baru, yang tiada tau lini hidup seperti apa yang akan ia lakoni selama di perantauan mencari ilmu. “Semangat, dan tiada boleh kendur. Belajar sungguh-sungguh, target khatam menghafal quran 30 juz sungguh-sungguh pun berorganisasi sungguh-sungguh” Terbesit dalam benaknya. Ia begitu percaya diri menjalani setiap perjalanan perantauannya tanpa lupa akan tekadnya untuk terus bersama Al-quran. Terus update perihal informasi beasiswa yang ada, perihal bidikmisi serta banding ukt misalnya. Karena itu, selama beberapa bulan perkuliahan dilaksanakan, ia mencoba terjun kembali dalam proses pendaftaran bidikmisi, dan persyaratannya lebih rumit dari beasiswa penghafal quran yang sebelumnya ia ikuti dan ikhtiarkan. Dan setelah dua minggu kemudian keluar pengumumannya, ternyata bidikmisi belum menjadi rezeki yang Allah beri untuk memenuhi perjalanan mencari ilmunya.
Namun hebatnya Allah, saat itu secara bersamaan ada pemberitahuan
pula bahwa Abil masuk tahap wawancara dan tes untuk beasiswa penghafal al-quran
yang sebelumnya ia ikhtiarkan, setelah dinyatakan lulus seleksi administrasi. Tapi,
kala itu, dia dalam keadaan lemah, diberikan sakit perdana di perantauan oleh
Allah. Dalam dua hari ini, Abil sering menangis, menahan sakit efek dari
maghnya yang kambuh. Kakaknya yang sama-sama merantau di kota kembang dengan
ikhlas mengurus Abil penuh kasih sayang dan kesabaran. Abil adalah tipe orang yang sangat
jarang sakit, tapi sekalinya ia sakit akan cukup parah.
“Saran teteh ya bil, coba konfirmasi dulu kepada pihak lembaga
beasiswanya, dan tanyakan jika diundur apakah memungkinkan".
“Tadi udah Abil chat whastapp, kata beliau nda bisa. Semua yang lolos seleksi
berkas, serentak pula mengikuti seleksi selanjutnya besok teh.”
“ Yaudah besok teteh antar ke tempat tes nya. Sekarang biar kamu
istirahat dulu, supaya besok lebih mendingan. “ Namanya Ulfa, kakak kedua Abil
yang sedang menempuh semester akhir di kampus yang sama. Kak ulfa tinggal di
kos-an, sedangkan Abil tinggal dipondok Quran. Dan selama satu
minggu ini, kak Ulfa menginap dipondoknya Abil.
Kak ulfa berlalu keluar, menuju kampus karena ada perkuliahan di
awal pagi ini. Sedangkan Abil, bergegas memurojaah hafalannya yang akan di tes
dikemudian hari. Cukup berat baginya memurojaah hafalan Al-quran disaat kondisi
kesehatannya sedang terganggu, apalagi tenggorokannya pun ikut bermasalah dan
terasa sakit apabila dipaksakan berbicara. Namun karena dia merasa bahwa inilah
kesempatan yang Allah beri untuk meringankan beban orangtuanya membiayai dia.
Dia akan ikhtiarkan dengan serius. Gas Terusss.
-----
Nabastala pagi ini begitu sumringah, bersamaan dengan sinar
matahari yang menerangi jalanan yang mulai macet. Abil dan kak Ulfa segera
berlalu ke tempat tes dengan tumpangan dua go-jek yang telah dipesan
sebelumnya. 30 menit barulah mereka sampai di lokasi, mencari makan pagi disekitar,
tapi nihil tidak dapat. Akhirnya pagi ini menjadi pagi tanpa sarapan yang entah
keberapa kali, intinya sudah sangat sering.
Di lokasi, para calon penerima beasiswa dari berbagai universitas
sedang kembali memurojaah hafalannya, ada pula yang berbincang bincang
berkenalan dengan kawan baru dari universitas yang berbeda. Abil hanya terdiam,
sesekali menahan sakit di kepala nya. Sedangkan kak ulfa menunggu di luar
ruangan.
“Teteh udah wawancaranya?” Abil memberanikan diri bertanya pada
seseorang disebelahnya.
“Udah. Tinggal tes hafalan. Oh iya perkenalkan Wilda dari ITB.”
Perempuan yang ternyata satu angkatan dengan Abil itu terlihat ceria dan ramah.
“Abil Haq.” Dia tersenyum, kemudian berlalu karena namanya telah
dipanggil untuk tes hafalan.
Ustadz Afnan, namanya. Beliau yang menguji hafalan Abil,
melanjutkan ayat selama setengah jam. Setelah itu dilanjut dengan tasmi lima
juz sekali duduk kepada para alumni penerima beasiswa ini. Barulah Abil
dipersilahkan melakukan tes wawancara, kembali dengan ust Afnan.
Dalam pandangannya yang terbatas, Abil merasa ia baik-baik saja
dalam menjalani tahapan tahapan tes nya. Tapi yang sedikit membuat Abil cukup
pesimis, adalah para calon penerima beasiswa yang hadir dari berbagai
universitas ternama di kota Kembang. Pula yang hafalannya telah banyak dirampungkan
hingga 30 juz banyaknya.
Biarlah, Abil selalu yakin, Allah punya rencana baik untuk membantu
biaya perkuliahannya. Ada satu pelajaran yang orangtua Abil sama sama tekankan.
Bahwa rezeki itu sudah dijamin oleh Allah. Allah sendiri yang bilang bahwa ‘tidak
satu makhluk pun yang bergerak dibumi ini yang tidak dijamin oleh Allah
rezekinya’ (Hud:6). Kalau bahasa mamah nya Abil begini, ‘ngga usah khawatir
masalah rezeki, Nanti Allah yang cukupi.’
Waktu berjalan begitu lama, dan sama sekali belum ada pengumuman lebih lanjut mengenai beasiswa penghafal Al-quran yang Abil ikuti, maka belum ada ketenangan pula bagi Abil pribadi menjalani rutinitas kuliah nya dengan biaya kuliah serta biaya hidup yang mahal, dan hanya ditanggung oleh orangtuanya semata. Akhirnya, abil mencoba ikut banding ukt/ penyesuaian UKT (Uang Kuliah Tunggal). Walaupun sebelumnya ia cukup pesimis, bersebab kuota yang dibutuhkan lebih sedikit dari kuota bidikmisi. Dengan segala dorongan dari kakak, appa dan mamah nya, ia kembali berjuang, tepat di hari terakhir pendaftaran banding ukt itu ditutup. Bada Ashar setelah selesai kuliah, dia bergegas menuju rektorat, dengan temannya yang juga berkelana dalam perjuangan kecil ini.
Maha baik nya Allah, setelah konsultasi dengan pihak administrasi
kampus sampai mega merah muncul di nabastala, akhirnya Abil dan temannya
berhasil terdaftar seleksi penyesuaian UKT ini. Sebenarnya ini bukan beasiswa,
sekadar ikhtiar kampus untuk meringankan tarif ukt bagi mahasiswa yang merasa
keberatan. Jika mendapat banding UKT 1 nantinya uang kuliah tiap semester hanya
perlu membayar 400 ribu dari yang sebelumnya membayar kurang lebih 3 juta. ‘Alhamdulillah
kan lumayan kalaupun dapat’ batin Abil.
----
1
November menyapa, semesta bahagia. Abil pula begitu berdamai dengan tiga bulan
perkuliahannya, sampai akhirnya ada pengumuman bahwa Abil dapat banding UKT.
Segera dia berlalu ke rektorat, mengurus semua persyaratan dan menandatangani
surat sebagai bukti dia tak perlu membayar UKT dengan jumlah 3 juta lagi.
“Alhamdulillah ala ni’matilah,”
dari perjuangan sabar, perlulah hambaNya menyambut ketetapan Allah dengan rasa
syukur. Sebagian kekhawatirannya mulai mereda, ia tinggal memikirkan bagaimana
mendapatkan rezeki guna membiayai biaya hidupnya di Kota Kembang ini. Karena
sejatinya, yang memakan biaya besar adalah biaya hidup, baik itu biaya
kos-an/pondok juga biaya makan dan satu lagi, biaya jajan.
Satu
minggu kemudian, dekapan Allah benar-benar terasa, harapan yang selalu Abil
panjatkan perlahan Allah tunaikan. Segala khawatir telah semuanya memudar.
“Bil, lo udah resmi jadi bagian
Mahasiswa penerima beasiswa Penghafal Quran. Barakallah ya, “ , Keadaan Abil yang sedang tidur sontak terbangun, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sebab dia
tiada lagi mengingat beasiswa penghafal quran itu, Abil mengira dia tidak
lolos.
“Lo, ka Nisfa, Kang Zein, sama Azril
keterimaaa. Selamat ya.” Giyas, berkaca-kaca. Sebab dia juga mengikuti
pendaftaran beasiswa ini, namun pada tahap seleksi administrasi dia tidak lolos.
Abil segera memeluk Giyas
“Jazakillah yas.” Abil
mendekap erat.
Sampailah
sudah Abil, pada episode yang selalu ia harapkan menjadi jalan rezeki yang
Allah berikan. Beasiswa Penghafal Quran For Leaders namanya, lembaga ini hanya
memberikan kuota 30 mahasiswa dari seluruh universitas di kota Kembang.
Fasilitas yang diberikan adalah Uang kuliah yang dibayar keseluruhan, serta
uang yang diberikan setiap bulan. Namun tentu segalanya butuh feedback,
beasiswa ini memberikan beberapa kewajiban yang harus dilakukan, sehingga para
penerima beasiswa bisa tetap berhak menerima beasiswa hingga kelulusan nanti.
Kita
sebut saja amanah. Ya amanah yang diberikan lembaga beasiswa tersebut adalah menghafal
Al-quran dengan target satu semester 4 juz, sehingga selesai kuliah mampu
merampungkan hafalan hingga 30 juz. Pun dengan peraturannya yang cukup ketat
dan tidak main-main. Selain itu, amanah yang perlu Abil laksanakan adalah
meningkatkan kualitas akademik, serta melakukan dakwah sosial baik dilingkungan
kampus hingga ke luar kampus. Saat itu Abil memandang bahwa ini amanah yang
bisa ia tuntaskan seiring berjalannya waktu. Dengan izin Allah tentunya.
Sayang,
rasa syukur yang Abil tunaikan tiada bertahan lama dan tersendat-sendat. Rasa syukur hadir melalui
berbagai aktivitas ibadah yang semakin menguat, begitupan dengan rutinitas bercengkrama
bersama Al-quran, harusnya lebih didekap dan erat bersemayam dalam
jiwanya. Satu semester ini, ia jalani
amanah-amanah dari lembaga beasiswa itu dengan baik baik saja, sampai pada
semester dua, episode kewalahan dan kelupaan menghampiri Abil.
Dulu,
dia merasa bahwa semuanya akan tertunaikan, namun pada semester kedua ini,
disaat aktivitas nya mulai menumpuk, amanah amanah di kampus serta di
organisasi mulai meminta hak Abil untuk segera dirampungkan, serta kegemaran
Abil yang mulai tertarik mengikuti berbagai komunitas telah membuatnya lupa
untuk komitmen memurojaah dan menghafal Ayat Al-quran setiap harinya.
Singkat
kisah, Qadarullah wa masya fa’ala, ada tes dadakan dari pihak
lembaga beasiswa pusat. Siapa yang tak kaget bagi Abil yang kadang absen dari
aktivitas murojaah hafalan Al-qurannya. Satu hari menuju tes dadakan, Abil
kalang kabut, berusaha tenang dan segera memurojaah hafalannya. Seharian itu,
dia tidak bangkit, diam dalam lantunan murojaah dadakannya.
Sampai
akhirnya, karena kesiapannya yang dipaksakan, dia mengambil siasat untuk telat
ke lokasi tempat tes dilaksanakan. Tes kali ini tidak biasanya, sebab di uji
langsung oleh orang-orang yang berkecimpung di pusat. Dan “Aku bener bener
deg-deg an” batin Abil sudah tidak karuan.
Dan
benarlah, siasat itu berhasil. Ia sampai di lokasi pukul 11 siang, telat satu
jam dari waktu yang telah ditetapkan, sampai akhirnya mendapat waktu tes
sekitar jam 5 sore, dan posisinya Abil dalam keadaan bershaum sunnah. Sampai
akhirnya, tes selesai, Abil berlalu dalam tangisnya yang ia rintihkan
disepanjang perjalanan menuju pulang ke pondok sampai lupa menunaikan kewajiban
berbukanya. ‘sama sekali ndak lapar ko yas.” Abil kemudian terjun ke dalam
lamunan yang berujung tangisan di pondoknya. Abil harap Allah merubah keadaan
ini, sebab episode ini terasa menyayat jiwanya perlahan-lahan. Bentakan dari
pengujinya, kebodohan dirinya, serta imannya yang melemah telah membuat kekacauan ini, Abil merasa Allah
akan benar-benar mengambil nikmat rezeki yang telah diberikan selama ini.
Firasat buruk mengenai informasi hasil
tes beasiswa itu telah terpatri dalam benak Abil. Jika benar tes itu dijadikan
sebagai penentu lanjut atau tidak, maka peluang besar Abil untuk lanjut cukup
kecil. Dari situlah, sesungguhnya Abil merasa perjalanan menuntut ilmu nya akan
terhambat, perjuangan dakwahnya akan tersendat.
Padahal, idealnya,
kehendak seperti itu tiada dibenarkan, bersebab menyalahi sopan santun dalam
berikhtiar. Tabiat serta kehendak yang perlu menjadi pegangan seorang hamba
yang beriman, tiada lain adalah menerima semua keadaan atau pemberian yang
Allah beri, tiada boleh mengeluh, menolak, apalagi meminta merubah keadaan. Baiknya,
seorang hamba beriman mampu menerimanya dengan tulus sembari memperbaiki
kesalahan yang pernah terpatri, sekalipun tiada ada lagi kesempatan di lembaga
beasiswa itu, akan ada beribu beasiswa ataupun beribu jalan keluar yang hadir untuk meringankan kesusahan hambaNya.
Dalam tulisan handponenya Abil
merangkai kata dan menandainya sebagai Episode terburuk juga episode yang
paling menampar untuknya. Tulisnya begini:
“Saat itu Allah beri sepotong episode yang cukup menampar aku, melemahkan aku dalam beberapa waktu. Bahkan membuat ini terasa mimpi dan merasa tidak benar-benar terjadi. Namun kembali yakin, ini telah terjadi. All is well semuanya Allah ganti dengan yang lebih baik. Terimakasih Allah.
Tepat bada magrib, tanggal 8 Juli 2019. Aku lunglai , mentalku jatuh terkapar tepat saat aku duduk didepan penguji itu, beliau kesal padaku tergambar melalui perkataan yang dilontarkan yg terasa sakit untuk diingat. Waktu itu, pikiranku tiba tiba melayang tiada menentu, perutku kosong belum melaksanakan haknya untuk segera berbuka ketika adzan magrib berkumandang. Blank, down… Aku benci pada diriku sendiri. Aku kesal pada diriku ini.
Ini bukan mimpi, ini mimpi, selalu aku menyakinkan hatiku bahwa ini semestinya adalah mimpi yang tidak akan pernah terjadi. Tes itu terus berlanjut hingga pukul 09.00 malam. Hal terburuk dan tersulit, kurasakan saat itu. Mentalku jatuh sejatuh-jatuhnya, merasa bahwa semua mimpi yang aku rangkai akan berantakan seketika bersebab kekhawatiran yang diprediksi akan muncul menghantamku. Sepanjang perjalanan selesai ujian, tangisku tiada bisa terbendung. Lir anak kecil yang dimarahi orangtuanya terus-terusan.
Satu minggu sebelum waktu itu terjadi, ada pengumaman dari pusat bahwa ujian evaluasi beasiswa akan dilaksanakan, dan ini tidak seperti biasanya atau tidak seperti kesepakatan sebelumnya. Tapi baiklah, Aku murojaah segiat mungkin, walaupun aku paham aku murojaah dadakan :(. Aku coba bantu dengan ikhtiar langit walau nampak tergesa-gesa dan kurang khusyu. Sampai akhirnya ada 3 penguji yang siap mentes hafalan kami. Dan dimulailah, dari detik itu....
Mamah , Appa ..Aku kalah pada episode perjuangan kali ini.”..
Abil
menjadikan rangkaian tulisannya sebagai pengingat rasa syukur untuk waktu
kedepannya. Qadarullah, tiga hari berlalu, hasil tes evaluasi menyatakan Abil
Haq tidak lagi dalam naungan Beasiswa Penghafal Quran itu. Satu minggu
selanjutnya, menjadi episode sulit untuk Abil memberitahukan orangtuanya. Tiada
lagi kata “Mah, nda usah kirim Abil uang jajan. Alhamdulillah udah ditanggung
dari beasiswa itu” . Abil kembali terus menerus merasa gagal dan jatuh tak
berdaya.
Namun hebatnya Allah, saat hambaNya
berada pada masa sulit, Allah selalu beri obat sebagai pelipur lara. Seperti
apa yang disampaikan mamahnya sesaat Abil memberitahukan kabar buruk ini:
“Husnudzonlah kepada Allah. Rezeki tidak sekadar pada satu arah. Yakinlah, Allah berikan pintu rezeki dari banyak arah. Mamah sama Appa insyaallah masih mampu membiayai kamu, jangan khawatir .” Begitu tenang mamah berbincang.
Dari sepotong episode yang ia alami kali ini, menjadikan Abil paham dan sadar. Bahwa optimis yang melambung dari batas wajar kemudian tiada dibarengi ikhtiar sama saja bernilai nol. Ketergantungan yang terlalu berlebih hingga merasa rezeki hanya pada satu arah juga keliru. Karena terlalu berharap, saat terjatuh sungguh sakit. Benar yang dinasihatkan Ali bin Abi Thalib, bahwa berharap kepada manusia tiada baik. Namun tetap Satu tahun aku dalam naungannya, terimakasih atas bimbingan dan bantuannya.
Entah beberapa hari kemudian dari
ketetapan Allah yang cukup mengguncang jiwa Abil , kemudian dengan mudah Allah
beri ruang rezeki lagi sebagai penggantinya, hanya saja dengan cara dan jalan
yang berbeda. Ada broadcast yang masuk ke grup wa “ Dicari guru tahfidz di SMA
A”. Saat Abil membaca, dia tiada tertarik sama sekali, dengan banyak alasan
logis, seperti karenan jarak tempatnya yang cukup jauh, waktu mengajarnya bada
magrib, sekolahnya basis militer jadi harus kuat mental mengajar
siswa-siswinya, dan cukup beresiko juga untuk Abil yang berstatus perempuan dan
gak bisa bawa motor, apalagi punya.
Singkat cerita, atas izin Allah
lagi, Abil disuruh beberapa kawannya untuk mencoba kesempatan itu. Setelah
dipertimbangkan dengan perbincangan yang panjang, akhirnya ia mencoba
kesempatan itu. Tiga minggu percobaan mengajar ia lalui di SMA itu dengan
segala drama adaptasinya yang luar biasa tidak terduga.Kemudian setelah 3
minggu berlalu, pihak yayasan yang menaungi SMA tersebut mengadakan tes dan
intrerview, dadakan lagi. Namun setelah ada hasilnya, tanpa diinginkan dan
tanpa terbayang sama sekali, Abil diterima untuk mengajar pada ekstrakulikuler
tahfidz di lembaga tersebut.
“Allah Maha Baik. Dia tetap memberikan penggantinya setelah mengambil alih yang sebelumnya. Yang penting sabar dan syukur. Tiada boleh dipisahkan apalagi dilupakan, ya Abil. “ Begitulah wejangan mamah
-----
“Alhamdulillah,
tak sama sekali terbayangkan sebelumnya, bisa diberi kesempatan untuk mengajar
di lembaga itu, dan melalui ujroh nya atas kehendak Allah, mampu kembali sedikitnya
membantu meringankan beban mamah appa”. batin Abil memanjatkan syukur yang tak
terhingga pada Yang Kuasa.
Begitulah , hebatnya rencana Allah dan ketetapanNya, yang tak pernah tega melihat hambaNya berlarut dalam keterpurakan.
Selamat berproses, dan mengambil banyak hikmah. Mari berjuang dalam perjuangan yang senada, jangan sampai sumbang atau berat sebelah. Ikhtiar serta doa mesti saling beriringan. Dan jangan hirau atas rezeki dari Nya, semuanya telah diatur sedemikian rapi dan tak pernah terduga.
Komentar
Posting Komentar