Ngomongin Pendidikan #Eps 4 Sedikit saja tentang Dialog dan Sekolahisme
Bismillah, Mudah-mudahan semuanya selalu ada dalam lindungan Allah SWT .
Jadi di ngomongin pendidikan kali ini,
Ada satu kisah yang ingin aku ceritakan kepada teman
teman semua, suatu waktu seorang anak remaja yang berprestasi ditanyai oleh
ayahnya, “Mau hadiah apa untuk capaianmu yang luar biasa ini, anakku?”, ayah
itu memasangkan wajah paling bahagia.
Anak berusia 17 tahun itu berpikir sejenak, matanya sedang
menggambarkan satu hal kemudian menyinggung senyum perlahan, “Kali ini, aku
minta hadiah dialog saja yah,”, katanya singkat.
Sang ayah dibuat heran dengan jawaban itu, bahkan
terperanjat tak habis pikir,” Lho kok dialog? Mintanya sepatu, baju, atau
apalah gitu. Aneh sekali kamu nak,”
“Yang ayah sebutkan sudah banyak aku dapatkan yah, Aku hanya
belum punya dialog," Senyum nya masih tersinggung dua sentimeter sebelah
kanan, pun dengan singgung senyum bibir sebelah kirinya.
Anak remaja itu tetap teguh dengan permintaannya, membuat
sang ayah terasa semakin kebingungan untuk memberikan jawaban, “Dasar kamu ini,
minta ko yang aneh-aneh.”
Melihat raut wajah ayahnya yang kebingungan serta jawaban
yang kian terasa aneh terdengar di telinga anak remaja itu, membuatnya semakin
terkesima dengan keadaan ini, dengan raut wajah ayah, dengan kebingungan ayah
atas permintaannya yang menurutnya tidak sama sekali aneh, bahkan sebaliknya.
Permintaannya terlihat sederhana dan tidak mewah, tapi ternyata malah membuat
ayahnya tergagap gagap, gugup, dan kesal.
Sementara hening, setelah memandang lama kebagian lain, sang
ayah memandang wajah anaknya dengan penuh tanda tanya, “ Dialog ? dimana ayah
harus membelinya?” .
….....
Manteman, satu pembicaraan sederhana diatas antara ayah dan
anak itu dikutip dari sebuah tulisan yang pernah kubaca, sebuah tulisan
sederhana berjudul “Dialog dan potret kebudayaan kita”, karya Pa Eros Djarot.
Ngeneus ga sih menurut temen-temen?
Memang ngeneus, namun ada ada yang lebih ngeneus, ada yang lebih miris,
dan ada yang lebih ironis, saat antara ayah dan anak, keduanya tidak punya
kesadaran atas pentingnya “Dialog” persis permintaan yang diajukan sang anak
diatas. Ayah acuh, anak bodo amat. Keduanya dalam satu atap, tapi sangat
terbentang jarak waktu. Saling berpaspasan tapi tidak pernah bertemu, saling
berkata tapi ndak bicara apa-apa. Kalo kata Pa Eros, rumahnya akan menjadi
saksi atas formalitas hubungan keduanya untuk sampai pada sebutan keluarga
saja.
Semisal antara anak dan orangtua berkumpul, lantas ternyata yg dilontarkan adalah ”Kamu hanya perlu belajar yang rajin disekolah, nanti ayah
dan ibu berikan hadiah”, tanpa sadar kata-kata yang terlihat membahagiakan itu sampai ke telinga seorang anak, namun Kemudian tidak sedikit kisah, dimana sang anak memberikan
hadiah luar biasa, yaitu kenakalannya bersebab ada didikan yang keliru
dikeluarganya. Akhirnya ayah ibu menyalahkan lembaga, sebaliknya lembaga kesal
dan menyalahkan balik. Aku kira itu hanya ada di film, tapi di dunia nyata kian
marak terjadi tapi tidak terekspos.
Ah tunggu, tunggu, takutnya gak nyambung dan kemana-mana,
jadi intinya pada tulisan ini dengan pembuka kisah diatas tadi, aku ingin
ngajak temen temen untuk beribicara sedikit saja perihal penting bangetnya pendidikan dari
orangtua, penting bangetnya keluarga sebagai madrasah pertama, ya bukan sekedar
tempat tinggal keluarga untuk makan, minum, dan tidur saja, plus tempat untuk
saling melontarkan amarah misalkan.
Jagi gimana gimana, pendapatmu untuk sekolah di Rumah? Dan
gurunya adalah Keluarga? Kepala Sekolah nya adalah Ayah? Kemudian mari
hubungkan dengan sebuah sindrom penyakit bernama sekolahisme, yang kian dirawat
dengan apik oleh para orangtua hingga anak-anaknya.
Aku kira, kita sepakat bahwa pola belajar dirumah dan menjadikan rumah sebagai sekolah, adalah salah satu yg seharusnya lumrah namun acapkali terlupakan, atau dinomorduakan. Sebagaian orangtua mungkin merasa bahwa sekolah formal adalah nomor satu untuk mengembangkan karakter manusia. Maka kadangkala, seorang anak yang kualitas perilakunya rendah, sekolah adalah yang pertama kali disalahkan oleh orangtua. Padahal jelas, sekolah adalah pembantu pembentukan karakter, yang berperan penting dan utama tentunya adalah orangtua dengan tempat dirumah dan lingkungannya.
Kemudian, walaupun memang benar, sekolah adalah penting, dan bahkan perlu kita yakini bahwa sekolah jelas berangkat dari adanya budaya ilmu. Tapi tidak seharusnya muncul paradigma sekolahisme, paradigma bahwa pendidikan yaaa adalah sekolah. Sehingga seringkali ada perkataan bahwa orang yang bersekolah adalah yang berpendidikan, dan yang tidak sekolah adalah yang tidak berpendidikan. Begitu kira-kira
Anak-anak hanya akan belajar saat mereka di sekolah, atau
hanya akan mempelajari tugas yang diperintahkan gurunya, selebihnya ‘No comen’.
Belum lagi orang tua yang merasa kewajibannya telah terpenuhi hanya karena
telah menyekolahkan anaknya secara formal. Dan kemudian lebih banyak memfokuskan diri pada urusan pekerjaan, mencari uang, sampai lupa bahwa ada anak yang perlu diberi nutrisi lewat dialog dan teladan.
Teringat sebuah nasihat dari Ibn Qayyim dalam kitabnya, bahwa penyebab perilaku menyimpang anak adalah abainya para ayah dalam memperhatikan kebutuhan jiwa anak dan hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan fisik dan sebagainya.
Ya, maka jelas bukan? Diadakannya dialog,adalah sebuah pendidikan pula, yang bahkan lebih diinginkan oleh setiap
anak-anak dimanapun mereka berada, bahkan oleh setiap manusia manapun.
Maka, anak itu tidak berlelebihan kan jika meminta hadiah
sebuah ‘dialog’ dengan orangtuanya?
Tapi tunggu satu lagi, pada nyatanya seiring waktu berjalan zaman berkembang, dialog kian terkikis hingga antara anak dan orangtua lupa untuk benar benar berdialog, berbicara dari hati ke hati, atau sekedar ngobrol santai diwaktu luang. Akhirnya, entah sejak kapan teknologi lah yg tak pernah absen berdialog dengan manusia. Ah itu bukan dialog tapi..
Pas banget nih ngena, tpi kenapa baru nemuin tulisan ini ya 😅
BalasHapus